Jufri , | Jum'at, 11 Maret 2011, 17:51 WIB
VIVAnews - Saat saya tulis artikel ini, saya sedang menikmati gerimis
di sebuah lokasi di Denpasar, Bali. Karena tidak boleh menyalakan lampu,
saya terpaksa mengetik dengan diterangi cahaya monitor laptop seadanya.
Karena tidak boleh keluar rumah, maka saya pun mengerjakannya di dalam
kamar saja. Ya, saya sedang menikmati hari penting umat Hindu di Bali,
dan juga di Indonesia, hari raya Nyepi.
Ini pertama kali saya
berada di Bali saat Nyepi. Dan, mudah-mudahan bukan terakhir kali.
Sebenarnya “suasana nyepi” bukan hal baru bagi saya karena di Pesantren
selain di bulan Romadlon setidaknya dua kali seminggu kami mengadakan
i’tikaf bersama. Semacam weekly retreat sebagai latihan rutin kami untuk
madul konsultansi dan mendekatkan diri kepada ilahi.
Dalam
i’tikaf itu, untuk beberapa jam semua penghuni pesantren harus
menangguhkan seluruh aktivitasnya. Mereka kudu hening berdiam diri di
masjid dan coba menyatu dalam semayam orbit tauhid dengan tetirah wirid.
Ini latihan “bermesraan” dengan Yang Maha Rahman.
Tapi, tetap
saja ada gangguan karena yang melakukannya hanya kami di pesantren.
Sementara di luar komplek, aktivitas tetap ramai seperti biasa dan
menghadirkan kebisingan luar biasa di telinga.
Nah, dalam Nyepi
ini ada yang berbeda ketika i’tikaf dilakukan orang satu pulau. Saya
mendapatkan banyak findings dalam i’tikaf saya kali ini, di Bali, saat
Nyepi.
Nyepi sangat lekat dengan empat larangan atau pantangan.
Tanpa pekerjaan (amati karya), tanpa menyalakan api (amati geni), tanpa
melakukan perjalanan keluar rumah (amati lelungaan) dan tanpa hiburan
(amati lelanguan). Empat tanpa itu lebih dikenal dengan istilah Catur
Berata Penyepian.
Pada hari itu umat Hindu secara khusyu
melakukan tapa, berata, yoga, samadhi untuk menyimpulkan serta menilai
Trikaya pribadi-pribadi di masa lampau. Mereka juga merencanakan Trikaya
Parisudha, tiga pedoman di masa depan. Tiga pedoman tersebut bertindak
sesuai kayika (perbuatan), manacika (pikiran), dan wacika (perkataan).
Sebuah proses “monev” suci dan perenungan hubungan pribadi-pribadi
dengan sang Pencipta.
Meski menarik dikupas lebih dalam, tapi
bukan dalam konteks itu saya ingin berbagi hasil perenungan. Dalam
pengalaman pertama saya merasakan suasana Nyepi, potret yang saya
ceritakan adalah manfaat substantif Nyepi terkait dengan hajat dan
kualitas hidup manusia.
Ketika Nyepi semua orang dilarang
menyalakan lampu mulai dari pukul 06.00 sampai jam 06.00 hari
berikutnya. Di sini Nyepi memberikan contoh bagaimana praktik menghemat
energi, setidaknya selama satu hari penuh. Nyaris tidak ada pemakaian
apalagi pemborosan energi. Alam pun seolah tahu hal ini dengan
memberikan penerangan cahaya ribuan bintang dan pantulan sinar bulan.
Saya belum menghitung rinci, tapi pastilah banyak energi dan dana bisa
dihemat dari larangan ini. Ah, andai saja lebih banyak orang dan daerah
melaksanakan ini. Berapa ribu kilowat listrik bisa dihemat dari praktik
hidup sehat khas swadaya masyarakat.
Di hari Nyepi semua orang
dilarang keluar rumah apalagi berkendaraan di jalan. Meski ada
pengecualian untuk orang sakit, tapi tetap saja ada manfaat besar di
situ. Hitunglah berapa ribu liter bensin, pertamax dan solar bisa
disimpan setelah biasanya dihambur-hamburkan ribuan kendaraan di jalan.
Juga saya bisa rasakan betapa nikmatnya udara penuh oksigen dan bebas
dari polusi berbahaya gas buang ribuan kendaraan yang biasanya berlalu
lalang. Suara bising kendaraan pun lenyap. Ah, andai saja hal ini lebih
sering diselenggarakan. Sekali lagi, seandainya saja.
Untuk
menghormati Nyepi, juga ada larangan bunyi-bunyian dan pesta. Tidak
seperti daerah lain, di Denpasar café dan diskotek begitu menjamur
hampir di setiap kelurahan/banjar. Pada hari biasa, café di lokasi padat
penduduk itu menyetel musik jedag-jedug semalam suntuk. Kebetulan saya
tinggal di dekat café yang tiap malam disuguhi alunan ribut yang
“membangunkan” saya untuk tahajjud.
Yang berbeda, kali ini
tidak hanya tahajjud saya bisa berlangsung lega. Tapi suara musik dan
suasana café yang biasanya riuh remang, saat itu betul-betul menghilang.
Angin pun berdenting hening. Satu lagi gangguan yang diatasi perayaan
Nyepi, polusi suara.
Di pagi hari saya disambut kicauan burung
menyanyikan chorus indah. Perkutut, kutilang, prenjak, sampai kruwok
memainkan alat musik tiup dan nadanya bersama-sama. Dari iramanya, kita
bisa mendengar mereka begitu menikmati kebebasan berekspresi setelah
berbulan-bulan dibungkam kebisingan manusia. Benar-benar riuh suara
mereka tapi justru menghadirkan harmoni alam yang syahdu.
Saat
malam datang, saya jelang petang diiringi suara kodok menyanyikan
tetabuhan berpadu remix musik etnik lengking suara jangkrik. Mereka
joged rapak gendang sambil seolah berteriak lantang, “Aku juga berhak
atas bumi ini, wahai manusia”. Ya, di saat manusia berantem tentang
haknya, di hari Nyepi, ada makhluk Tuhan selain manusia mendapatkan
haknya, animal right-nya.
Selain sepi dari purwarupa suara,
kebanyakan orang juga tidak menyalakan televisi selama Nyepi. Meski
tidak ada larangan khusus untuk itu, tapi “kesadaran” untuk itu cukup
tinggi. Hasilnya, ibu-ibu tidak perlu lagi mendengar gosip murahan
infotainment yang bisa mengotori hati.
Konstituen tidak harus
menerima suguhan busa-busa lidah para politikus yang menghiasi
diskusi-diskusi penuh topeng itu. Konsumen tidak perlu miris menonton
iklan-iklan hedonis nan bombastis. Anak-anak juga aman dari tayangan
kekerasan. Keluarga terbebas dari sinetron mistik yang membodohi logika
dan pentas syahwat yang mengumbar aurat. Meski sebentar, Nyepi
menawarkan obyektivitas tanpa bias.
Pasar, mall, dan toko-toko
semuanya tutup. Hari ini semua bibir yang biasanya berbohong untuk
meyakinkan pembeli, berhenti merugikan pembeli. Kantor-kantor birokrasi
juga tutup. Hari ini aksi mark up proyek berhenti. Aksi sogok menyogok
yang menjengkelkan seperti dalam iklan sebuah rokok itu juga stop.
Praktik korupsi hari ini sementara jeda dari jadwal kerja.
Terminal bus, pelabuhan kapal dan bandar udara juga tidak beroperasi.
Hari ini tidak ada penumpang ditipu calo dan dirugikan akibat delay
jadwal. Tempat rekreasi dan hiburan semuanya libur. Hari ini pantai
melakoni gurah sampah.
Sebagai orang yang awam akan ajaran
Hindu, saya tidak tahu doa apa yang dipanjatkan oleh dulur-dulur kita
yang sedang semedi di pura-pura maupun di rumahnya. Tapi, saya yakin
mereka berdoa untuk kebaikan mereka dan bangsa ini. Maka, untuk kebaikan
pulalah saya berusaha memanfaatkan betul keheningan Nyepi ini untuk
mendekatkan diri kepada Tuhanku Allah Yang Maha Suci.
Hening,
sepi dan suci adalah sebuah suasana ideal untuk nguzla dan i’tikaf.
Sebagai Muslim saya tidak berhak ikut ritual keagamaan Hindu. Tapi,
Nyepi dalam dimensi dan pemaknaan hakiki telah melibatkan saya dan umat
agama lain dalam suasana religius yang harmoni.
Tentu ada
hal-hal lain di balik yang saya sebutkan tadi. Seperti anak-anak yang
membutuhkan penerangan lampu, tapi toh ada pengecualian untuk mereka
yang punya bayi boleh menyalakan lampu. Orang sakit yang membutuhkan
pelayanan, toh ada pengecualian rumah sakit tetap bisa beroperasi.
Pekerja atau pedagang kecil yang menggantungkan hidup dari penghasilan
harian, toh mereka bisa merencanakan menyisihkan uang untuk sehari itu,
jauh hari sebelumnya. Demikian pula perjalanan untuk kepentingan
darurat, ada pengecualian. Sehingga jikapun substansi Nyepi dilaksanakan
oleh lebih banyak orang, tidak akan mengganggu kondisi-kondisi khusus
tadi.
Dari Nyepi kita bisa menemukan begitu banyak dimensi
manfaat yang lebih dari sekedar ritual keagamaan. Seperti halnya puasa
dan i’tikaf dalam Islam, Nyepi yang saya rasakan dalam tulisan ini
adalah sebuah suasana di mana semua orang secara bersama-sama bersepakat
mengekang diri dan tidak melakukan hal-hal yang dilarang. Semua demi
kebaikan diri, alam dan hubungan dengan Sang Pencipta.
Dalam
Islam ada istilah amar ma’ruf atau menyeru pada kebaikan dan nahi munkar
atau melarang berbuat kejahatan. Konon amar ma’ruf lebih ringan
daripada nahi munkar, karena psikis seseorang ketika disarankan berbuat
baik lebih bisa menerima daripada ketika dicegah berbuat salah. Nah,
dalam nyepi ini, semuanya berupa nahi/larangan. Sehingga tantangannya
besar namun seimbang dengan manfaat yang juga datang.
Ketika
energi bisa dihemat, ketika polusi bisa dibabat, ketika kelonggaran
maksiat bisa diperketat, ketika korupsi dan manipulasi bisa dicegat,
ketika Nyepi memberi banyak manfaat, muncul pertanyaan penuh harap dalam
benak saya: mungkinkah “perayaan penuh kesunyian” ini lebih sering kita
helat?
Jika saya di pesantren ada kegiatan rutin “nyepi”
seminggu dua kali yang kami sebut renungan suci, maka bisalah kita
berandai-andai nyepi diadakan sebulan sekali di negeri kita ini. Tidak
saja oleh masyarakat Bali tapi di seluruh tanah air kita tercinta.
Dengan niat, cara dan tujuan beragam tergantung keyakinan
masing-masing. Asalkan tetap dalam koridor hening, sepi dan penuh aturan
mengekang diri. Meski hanya sehari, saya rasa nyepi layak dijalani demi
ridlo Ilahi dan harmoni alam yang sejati.
Kalau begitu,
bisakah kita usulkan pada diri kita dan para pemimpin negeri untuk
mencanangkan gerakan nasional nyepi dalam bingkai kegiatan rutin
“i’tikaf sebulan sekali”. Mau? Berani?
0 komentar:
Posting Komentar