Posted by Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa San on 2008-03-07.
Banyak
kalangan lain di luar umat Hindu melihat keunikan tersendiri bagi umat
Hindu Nusantara dalam merayakan Tahun Barunya. Umat lain di hari Tahun
Baru-nya merayakan dengan kemeriahan, pesta makan, minum, pakaian baru,
dan sebagainya. Umat Hindu, justru di Tahun Baru Saka yang jatuh pada Penanggal Ping Pisan Sasih Kadasa menurut sistim kalender Hindu
Nusantara, merayakannya dengan sepi yang kemudian bernama Nyepi
artinya membuat suasana sepi, tanpa kegiatan (amati karya), tanpa
menyalakan api (amati gni), tanpa melakukan perjalanan keluar rumah
(amati lelungaan) dan tanpa hiburan (amati lelanguan) yang dikenal
dengan istilah Catur berata penyepian.
Di hari itu umat Hindu melakukan tapa, berata, yoga, samadhi untuk
menyimpulkan serta menilai Trikaya pribadi-pribadi dimasa lampau dan
merencanakan Trikaya Parisudha dimasa depan. Di hari itu pula umat
mengevaluasi dirinya, seberapa jauhkah tingkat pendakian rohani yang
telah dicapainya, dan sudahkah masing-masing dari kita mengerti pada
hakekat tujuan kehidupan di dunia ini.
Dengan amati karya, kita mempunyai waktu yang cukup untuk melakukan tapa, berata, yoga, dan samadhi;
dalam suasana amati gni, pikiran akan lebih tercurah pada telusuran kebathinan yang tinggi;
pembatasan gerak bepergian keluar rumah berupa amati lelungaan akan
mengurung diri sendiri di suatu tempat tertentu untuk melakukan tapa,
berata, yoga, samadhi. Tempat itu bisa dirumah, di Pura atau di tempat
suci lainnya. Tentu saja dalam prosesi itu kita wajib menghindarkan diri
dari segala bentuk hiburan yang menyenangkan yang dinikmati melalui
panca indria.
Kemampuan mengendalikan Panca Indria adalah dasar utama dalam
mengendalikan Kayika, Wacika dan Manacika sehingga jika sudah terbiasa
maka akan memudahkan pelaksanaan Tapa Yadnya.
Walaupun tidak dengan tegas dinyatakan, pada Hari Nyepi seharusnya
kita melakukan Upawasa atau berpuasa menurut kemampuan masing-masing.
Jenis-jenis puasa antara lain : tidak makan dan minum selama 24 jam,
atau siang hari saja, atau bentuk puasa yang ringan yaitu hanya memakan
nasi putih dengan air kelapa gading yang muda.
Setelah Nyepi, diharapkan kita sudah mempunyai nilai tertentu dalam
evaluasi kiprah masa lalu dan rencana bentuk kehidupan selanjutnya yang
mengacu pada menutup kekurangan-kekurangan nilai dan meningkatkan
kwalitas beragama. Demikianlah tahun demi tahun berlalu sehingga semakin
lama kita umat Hindu akan semakin mengerti pada hakekat kehidupan di
dunia, yang pada gilirannya membentuk pribadi yang dharma, dan
menjauhkan hal-hal yang bersifat adharma. Hari Raya Nyepi dan hari-hari
Raya umat Hindu lainnya merupakan tonggak-tonggak peringatan penyadaran
dharma. Oleh karena itu kegiatan dalam menyambut datangnya hari-hari
raya itu semestinya tidak pada segi hura-hura dan kemeriahannya, tetapi
lebih banyak pada segi tatwa atau falsafahnya. Seandainya mayoritas umat
Hindu Nusantara menyadari hal ini, pastilah masyarakat yang Satyam,
Siwam, Sundaram akan dapat tercapai dengan mudah.
Kelemahan tradisi beragama umat Hindu khususnya yang tinggal di Bali,
adalah terlalu banyak berkutat pada segi-segi Ritual (Upacara) sehingga
segi-segi Tattwa dan Susila kurang diperhatikan. Tidak sedikit dari
mereka merasa sudah melaksanakan ajaran Agama hanya dengan melaksanakan
upacara-upacara Panca Yadnya saja. Salah satu segi Tattwa yang kurang
diperhatikan misalnya mewujudkan Trihitakarana. Perkataan ini sering
menjadi selogan yang populer, diucapkan oleh berbagai tokoh dengan
gempita tanpa menghayati makna dan aplikasinya yang riil di kehidupan
sehari-hari.
Trihitakarana, tiga hal yang mewujudkan kebaikan, yaitu 1.
keharmonisan hubungan manusia dengan Hyang Widhi (Pariangan), 2.
keharmonisan hubungan manusia sesama manusia (Pawongan) dan 3.
keharmonisan hubungan manusia dengan alam (Palemahan).
Trihitakarana bertitik sentral pada manusia, dengan kata lain
Trihitakarana bisa terwujud jika manusia mempunyai tekad yang kuat
melaksana-kannya. Tekad yang kuat harus disertai dengan pengertian yang
mendalam dan kebersamaan sesama umat manusia. Trihitakarana tidak bisa
diwujudkan hanya oleh seorang diri atau sekelompok orang saja. Itu harus
dilakukan bersama-sama oleh semua manusia, bahkan manusia beragama
apapun.
Manusia yang pendakian spiritualnya cukup akan mencintai Tuhan (Hyang
Widhi). Cinta kepada sesuatu yang lebih tinggi dan lebih luas disebut Bhakti. Ruang lingkup ini misalnya : Bhakti kepada Tuhan, negara,
bangsa, rakyat, dll. Tinjuan khusus tentang bhakti kepada Hyang Widhi,
wujudnya adalah kasih sayang kepada semua ciptaan-Nya yaitu mahluk hidup
: manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan; demikian pula kepada
ciptaan-Nya yang lain misalnya alam semesta. Seseorang yang mengaku
sebagai Bhakta (orang yang berbhakti) tidaklah tepat jika ia
menunjukkan bhaktinya itu kepada Hyang Widhi hanya dalam bentuk berbagai
ritual saja. Ia juga harus mewujudkan cinta dan kasih sayang kepada
semua mahluk, khususnya kepada sesama manusia. Rasa kasih sayang kepada
sesama manusia hendaknya benar-benar datang dari hati nurani yang bersih
dan tulus tanpa keinginan mendapat balas jasa atau imbalan dalam bentuk
apapun. Filsafat Tattwamasi merupakan panduan yang bagus kearah ini.
Masyarakat yang individu-individunya telah mampu melaksanakan ajaran
Agama dengan baik akan mewujudkan keadaan yang disebut sebagai Satyam,
Siwam, Sundaram, yakni masyarakat yang saling menyayangi sesamanya,
kebersamaan yang harmonis dan dinamis, berkeimanan yang kuat dan
sejahtera lahir-bathin. Manusia dalam upayanya mencapai kehidupan
satyam, siwam, sundaram tidaklah dapat berdiri sendiri-sendiri. Ia
memerlukan berbagai hubungan yang harmonis dengan manusia lain, atau
jelasnya, manusia membutuhkan kelompok tertentu yang sehaluan dalam
pemahaman keimanan, kepentingan politik, kepentingan ekonomi,
kepentingan sosial, dan kepentingan budaya.
Prinsip-prinsip jalinan hubungan yang harmonis itu sebagaimana bunyi
slogan : Sagilik-saguluk salunglung sabayantaka, paras-paros
sampranaya, saling asah, saling asih, saling asuh.
Artinya : bersatu-padu menyusun kekuatan menghadapi ancaman/bahaya,
memutuskan sesuatu secara musyawarah mufakat, saling mengingatkan,
saling menyayangi dan saling membantu. Slogan ini bersifat dinamis,
dapat digunakan baik dalam lingkungan kecil seperti rumah tangga, maupun
dalam lingkungan yang lebih besar seperti Paguyuban, Banjar, dan Desa,
bahkan dalam lingkungan Nusantara dan Internasional. Untuk lingkungan
yang lebih luas seperti Nusantara dan Internasional kepentingan yang
disatukan biasanya menyangkut ideologi misalnya bidang keimanan/ Agama
dan Politik. Azas-azas kebersamaan sebagai umat Hindu dapat dikembangkan
seluas-luasnya karena akan bermanfaat bagi peningkatan pengetahuan dan
kesejahteraan. Kebersamaan itu pula dapat sebagai benteng yang
melindungi, mengayomi umat sedharma dari ancaman-ancaman pihak lain
dalam bentuk proselitasi (mempengaruhi orang yang sudah memeluk Agama
tertentu beralih ke Agama lain).
Selain itu azas kebersamaan sangat bermanfaat bagi umat sedharma untuk
bergotong royong menegakkan dharma dan dalam pendakian spiritual
individu, misalnya dalam memerangi Sadripu (enam jenis musuh manusia
yang ada di diri masing-masing) yaitu : Kama (nafsu yang tak
terkendali), Lobha (rakus), Kroda (kemarahan), Mada (kemabukan), Moha
(angkuh) dan Matsarya (cemburu, dengki dan iri hati). Slogan Sagilik-saguluk sabayantaka hendaknya tidak dipandang secara sempit
sebagai menghadapi musuh ekstern, tetapi lebih ditujukan kepada
memerangi Sadripu ini. Mereka yang berhasil mengendalikan Sadripu
disebut orang yang Dama artinya bijaksana. Kebijaksanaan adalah hal
yang penting dalam menempuh kehidupan, karena kebijaksanaan dalam arti
luas hakekatnya adalah kemampuan memilah dan menyadari Dharma dan
Adharma.
Kebersamaan dalam bentuk paguyuban berguna sebagai wadah demokrasi
karena konsep Paras-paros sampranaya dijalankan. Ini akan membentuk
tatanan kehidupan yang moderat dimana terjadi brainsforming dalam
memutuskan sesuatu demi kepentingan bersama. Sejarah dunia telah
membuktikan bahwa perjuangan dalam bentuk apapun hanya akan berhasil
jika dilakukan dengan kesadaran kebersamaan yang hakiki diantara
kelompok pejuang. Demikian pula hal yang patut dilakukan oleh umat Hindu
dewasa ini, jalinan kebersamaan hendaknya makin diperluas mencapai
tahap internasional agar dapat memberikan manfaat yang tinggi bagi
kemajuan umat Hindu.
sumber: MediaHindu.net
Kaambil ring http://www.iloveblue.com/bali_gaul_funky/artikel_bali/detail/2582.htm
Rabu, 02 Maret 2011
Rahajeng Nyanggra Rahina Nyepi Saka 1933 ( MAKNA NYEPI DAN PENGEMBANGAN KEBERSAMAAN UMAT )
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar